Thursday, February 10, 2011

Sebuah babak baru

Handphone ku bergetar menandakan ada seseorang di seberang sana berusaha untuk menghubungi ku, aku memperhatikan layar handphone ku. Seketika aku terperangah melihat sebuah nama muncul.

"Aji !"

"Hallo, kamu dimana dek?"

"Hmm.. Aku.. Aku lagi di.. Err.. Sama Astri mas, ada yang mau dia ceritakan." 


Terpaksa aku harus membohongi aji, karena tidak mungkin aku memberi tahu dimana aku sekarang.

"Mau mas jemput? Nanti siang kita nyekar ayah sama ibu ya dek."

"Oh ngga usah mas, biar nanti aku pulang diantar astri, sebentar lagi kok mas."

"Ya sudah, kamu hati-hati ya dek."

"Iya mas."


Seketika setelah aku menutup telepon dari Aji, Astri menginterogasi ku. Dia mempertanyakan, kenapa aku tidak mengatakan yang sebenarnya dimana aku sekarang.

"Aku ngga mau Aji mengetahui hal ini sekarang, Stri."

"Biar gimanapun, Aji itu harus tau. Dia suami kamu, Yu."

"Aku pun sebenernya engga terima dengan kenyataan ini, aku mau menceritakan hal ini dulu sama mbak dita, aku yakin dia tahu bagaimana cara aku memberitahukan berita ini kepada mas Aji"


Dokter di depan ku kini menatap ku tajam, seakan ia geram mengapa hal ini bisa terjadi. Ia menghela nafas panjang.

"Tolong ya bu Ayu, lain kali harus hati-hati. Ini adalah yang pertama dan terakhir untuk ibu, jika lain waktu masih diberikan kepercayaan, ibu harus jauh lebih hati-hati menjaganya. Dan bersabarlah, mungkin ini bukan waktunya bagi bu Ayu."

Rasanya air mata ku telah habis, aku sangat menyesal. Andai saja aku mendengarkan kata-kata mas Aji. Mungkin hal ini tidak akan terjadi.

"Yang sabar ya Ayu, mungkin ini belum saatnya." Astri menyemangatiku.

"Kami pamit dulu dok, terima kasih banyak."

Ku tapaki lorong rumah sakit ini, dengan lemas ku berjalan, seperti tidak ada semangat lagi dalam diriku, sesuatu yang membuatku untuk bersemangat hidup setiap harinya telah pergi untuk selamanya.

Kuhentikan langkahku di depan sebuah patung seorang ibu yang menggendong anaknya. Air mata ku kembali turun, membasahi kembali pipi ku yang telah kering.

"Sudah Yu, yang sabar ya."

"Kita duduk disini dulu ya Stri, biar mbak Dita yang jemput kita disini."


Aku tidak tahu pasti apa reaksi mbak Dita ketika nanti ia mendengar berita ini. Terdengar dari suaranya saat aku berbicara dengannya melalui handphone-ku kalau ia sangat terkejut mengetahui aku berada di rumah sakit. Aku menghela nafas panjang dan menahan untuk tidak terus membiarkan air mata ini jatuh membasahi pipi ku.

Seseorang menghampiriku.

"Kamu kenapa dek? Kenapa kamu ngga bilang dari awal kalau kamu pergi ke rumah sakit? Dan untuk apa kamu ke rumah sakit?"

Suamiku datang, aku tidak tau siapa yang memberi tau Aji tentang keberadaan ku dirumah sakit ini. Dia memelukku erat, sambil terus memborbardir ku dengan pertanyaan-pertanyaan yang membuatku bingung untuk menjeleskan duduk perkaranya.

Aku menangis di pelukannya, aku merasa sangat bersalah pada suami ku.

"Aku keguguran mas."

Dengan terisak aku mengatakan yang sebenarnya terjadi.

Aku terus menangis, dengan kalimat-kalimat penyesalan yang terus keluar dari mulutku. Supaya suamiku mengerti bahwa aku benar-benar menyesal.

"Tidak sepenuhnya ini salahmu dek, ini sudah suratan Tuhan. Tuhan belum dapat mempercayakan kepercayaannya untuk kita jaga. Kita harus banyak bersabar ya."

Dengan bijaksana, suamiku menerima keadaan ini. Walau sebenernya aku tahu betul, betapa terpukulnya ia akan keadaan ini. Sesuatu yang sangat kami nantikan, hilang begitu saja. Namun benar perkataan suamiku, ini sudah suratan Tuhan.

Suami ku melepaskan pelukannya, ia mengecup kening ku. Aku melihat air matanya jatuh dari kedua bola matanya yang bulat besar.

Suamiku lalu berjalan menuju lorong rumah sakit itu, ia bergegas untuk mengurus bakal calon bayi kami yang sudah tidak bernyawa.

Seiring suamiku berjalan, nampak seorang wanita berlari ke arahku. Kakak ku.

Ia memeluk ku erat, bertanya apakah aku baik-baik saja. Ya, aku baik-baik saja, namun alangkah lebih baiknya diriku, jika aku masih senantiasa membawa bakal calon bayi ku kemanapun aku pergi.

"Mbak, bisa ikut aku sebentar?"

"Ada apa sebenernya, Stri?"


Astri menarik tangan mbak Ditha, mereka menjauh dariku. Seperti akan dimulainya perbincangan rahasia yang serius diantara mereka berdua. Sehingga aku tidak boleh mengetahuinya.

Arlojiku menunjukkan pukul 1 siang, suamiku berencana mengajak aku, mbak dita dan ajeng untuk nyekar di pemakaman orang tua suami ku.

"Kamu udah sholat mas?"

"Sudah, kamu masih kuat jika seandainya kita pergi ke makam hari ini?"

"Masih mas."

"Hmm.. Tidak usah, dek. Kita istirahat dirumah saja dulu ya, mungkin esok hari kita pergi ke makam."


Astri pamit pada suamiku, ia mengucapkan bela sungkawa dan permohonan maaf karena harus turut menyembunyikan hal ini dari mas Aji.

"Maafin aku ya dit, aku tidak menjaga Ayu dengan baik, aku terlalu sibuk sampai tidak..."

"Oke cukup, kamu tidak perlu memojokkan diri kamu, merasa paling bersalah atau apapun itu. Sekarang saatnya bagi kita untuk saling introspeksi diri, saling menjaga dan saling mengerti. Ada benarnya kalau ini adalah suratan Tuhan."


Aditya Aji Utama

"Kamu kenapa sih masih sibuk dengan agency kamu itu? Kandungan kamu harus lebih diperhatikan dek?"

"Loh selama aku ngga merasa ada halangan yang berarti, kenapa ngga dijalanin, mas? Aku bosan tinggal di rumah, sedangkan kamu selalu sibuk dengan urusan-urusan mu. Selalu teringat oleh mu, tumpukan-tumpukan tugas yang harus kau selesaikan setiap harinya. Sampai kamu pun lupa mas, masih ada seorang istri yang harus selalu kau ingat keadaannya, ia pun sedang membawa anakmu kemanapun ia pergi."


Aku hanya bisa diam. Seketika aku biarkan istriku meluapkan emosinya, menurutnya tidak salah jika ia harus beraktifitas dengan perut yang semakin kian hari makin membuncit. Ia menyalahkan sikapku yang acuh tak acuh akan kondisi dan keadaannya.

"Aku minta maaf, dan aku kira kamu memang mengerti mana yang baik untukmu dan mana yang tidak. Tapi tolong, jaga kandunganmu dengan baik."

Tuhan maafkan aku...

Aku pun menangis....

No comments:

Post a Comment