Imaji
Selamat pagi!
Bagiku, waktu selalu pagi. Di antara seluruh potongan 24 jam sehari, bagiku pagi adalah waktu terindah. Ketika janji-janji baru muncul seiring embun menggelayut di ujung dedaunan, ketika harapan-harapan baru merekah seiring kabut yang mengembang di persawahan hingga nun jauh di kaki pegunungan.
Pagi, berarti satu hari lagi yang melelahkan telah terlampaui. Satu malam lagi dengan mimpi-mimpi yang menyesakkan terlewati. Malam-malam panjang, gerakan tubuh resah, kerinduan dan helaan napas tertahan.
Keresahan. Kerinduan.
Kalau sudah begini, aku biasanya melakukan rehat hati.
Bercermin dan memandang ke kedalaman mata. Hasilnya, air mata.
Pebruari 2009. Di sebuah keramaian yang sepi. Manusia dengan gaya busana modern, modis, urban style. Di pemilihan wajah sampul majalah di Jakarta.
“Siapa ya”?
Mungkin kata itu yang ada di benaknya. Gadis itu terdiam sesaat ketika kutanya dari mana asalnya."Yogyakarta". Jawabnya menunduk perlahan sambil sesekali memainkan rambut hitamnya yang panjang.
Aku menatap tajam gadis ini dengan berbeda. Dia pemalu tapi gesture tubuhnya menggambarkan ia seorang yang cerdas. Mungkin kata yang tepat bukan “pemalu”. Tapi menjaga harga diri. Tipikal perempuan Jawa pada umumnya.
Aku tebak membatin, umurnya pasti tak lebih dari 17 tahun. Anak baru gede.
Aku membalas, "oh, Yogya. Kota tujuan wisata yang bagus ya".
"Iya, begitulah." timpalnya.
"Ayu Sekarwati!”
Seseorang dari depan mulut pintu berteriak memanggil sebuah nama. Tak disangka, Ayu Sekarwati yang dimaksud adalah gadis itu! Ketika ia berdiri, bisa kulihat tubuhnya yang tinggi semampai. Anggun.
Ia beranjak menuju ruangan interview. Terlihat olehku, kulit tangannya berwarna kuning langsat yang bersih. Lengan yang kurus ramping, sesuai dengan bentuk tubuhnya.
Gosh!
Ada apa denganku? Kenapa aku memperhatikannya? Suka padanya? Hmm... Kagum lebih tepatnya.
Kagum pada wajahnya yang ayu dan kulit kuningnya yang indah. Ciri kulit Melayu-Asiatik.
Aku bertanya dalam hati, apa alasan gadis itu mau repot mengikuti pemilihan wajah sampul majalah? Ingin tahu dunia fashion? Atau mungkin sebagai batu loncatan untuk langsung menjadi terkenal? Ah sudahlah.
Sebotol air mineral di tanganku kini tersisa separuhnya. Aku sabar menunggu hingga giliran adikku dipanggil. Adikku yang sebenarnya tidak begitu mengerti dunia seperti ini, memaksaku untuk mengantarkannya ikut audisi ini.
Baginya, ukuran terkenal adalah wajahnya terpampang di majalah anak muda. Dangkal.
Gadis itu keluar dari ruangan interview. Tidak terpancar ekspresi apapun dari parasnya yang ayu itu. Ia kembali duduk di sebelahku. Kesempatan berpihak padaku. Akan kutanya lebih jauh tentangnya
"Bagaimana tadi?"
"Lumayan." Jawaban singkat, padat dan jelas.
Ajaran ibunya mungkin merasuk di benaknya. “Berhati-hatilah dengan orang asing”. Pendek, singkat, jelas dan padat. Tidak bertele-tele.
"Lagi libur ya? Kok ke Jakarta?"
"Iya, waktu libur kuliah masih lama. Aku kuliah di Jakarta”.
Jelasnya dengan aksen Jawa yang masih terdengar kental.
Aku meninjau jawabannya. Buat apa Ia kuliah di Jakarta. Toh banyak universitas yang bagus di Yogyakarta. Sesuai dengan predikatnya sebagai kota pelajar.
Tentu banyak lembaga-lembaga pendidikan tinggi untuk menghasilkan sumber daya yang berkualitas.
Pikiranku menerawang, mungkin Ia memang berkeinginan untuk bergelut di dunia modeling yang tentu saja jauh lebih kompetitif.
Sekali lagi, tangan kuningnya yang ramping itu kembali memainkan rambut panjangnya yang hitam. Rambutnya wangi semerbak.
“Aditya Ajeng Utama!”
“Ayo Jeng, giliranmu.”
Ucapku sambil menyemangati.
“Doain ya, bang!”
“Adiknya ya?”.
Gadis itu membuka mulut.
“Iya.“Jawabku singkat”
“Namanya bagus ya”.
“Hmm... Nama kamu siapa?”
“Ayu Sekarwati. Panggil aja Sekar.”
“Aditya Aji Utama”.
“Panggil aja Aji”.
Kubalas tanpa harus menunggu Ia bertanya balik seraya kusodorkan tangan kananku untuk berjabat tangan.
“Namanya hampir sama ya.” Candanya
Keluar juga canda dan tawa kecil dari bibir tipisnya. Ada keinginan dariku untuk mengenal lebih jauh dengannya. Tapi pasti Ia berpikir, buat apa langsung akrab dengan orang yang baru saja dikenal.
“Ah, tetapi apa salahnya kucoba untuk terus memulai percakapan dengannya”. Batinku
Sambil menunggu adikku keluar dari ruang interview, kami larut dalam percakapan singkat untuk saling mengenal. Aku merasa berhasil berkenalan dengannya. Sesekali keluar tawa kecil dari bibirnya. Ia terlihat sangat cantik!.
“Abaaaaaaaaaaaang!”
Aku terkejut. Karena tanpa sepengetahuanku, adikku telah keluar dari ruang interview dan berteriak sambil berlari ke arahku. Adikku sibuk menceritakan apa saja yang Ia lalui di dalam ruang interwiew. Tanpa kuperhatikan, aku mengalihkan perhatianku ke arah gadis ayu itu.
Mendadak, gadis itu memecahkan suasanaku yang tengah sibuk memperhatikannya. Ternyata ia telah memiliki seorang pasangan yang kini duduk di sebelahnya. Terdengar olehku, percakapan yang cukup hangat dari mereka berdua.
Ah, apa yang tengah ku pikirkan? Aku tidak cemburu, walau sempat terbersit oleh ku untuk dapat mengenalnya lebih jauh.
“Bang, ayo kita makan siang.” Seru Ajeng padaku.
“Selesai ceritanya?”
“Abang hampir aja ketiduran disini”.
“Iya, emang Abang merhatiin ceritaku? Abang juga terlalu betah duduk bangku ini, makanya hampir ketiduran.”
Aku memang mau tidak mau harus betah di situ.
Betapa tidak, aku harus turut menunggu berjam-jam hinga nama Ajeng dipanggil. Selain itu, alasanku untuk tetap kerasan di bangku itu adalah karena ada gadis cantik yang turut duduk disitu, di sebelahku, ucapku dalam hati.
Sayangnya gadis itu sudah milik orang lain dan aku tidak lagi dapat mengenalnya lebih jauh. Aku berharap dapat bertemu lagi dengan gadis itu di lain kesempatan, walau hanya untuk melihat tawa kecil dari bibirnya yang tipis.
Selamat pagi!
Bagiku, waktu selalu pagi. Di antara seluruh potongan 24 jam sehari, bagiku pagi adalah waktu terindah. Ketika janji-janji baru muncul seiring embun menggelayut di ujung dedaunan, ketika harapan-harapan baru merekah seiring kabut yang mengembang di persawahan hingga nun jauh di kaki pegunungan.
Pagi, berarti satu hari lagi yang melelahkan telah terlampaui. Satu malam lagi dengan mimpi-mimpi yang menyesakkan terlewati. Malam-malam panjang, gerakan tubuh resah, kerinduan dan helaan napas tertahan.
Keresahan. Kerinduan.
Kalau sudah begini, aku biasanya melakukan rehat hati.
Bercermin dan memandang ke kedalaman mata. Hasilnya, air mata.
Pebruari 2009. Di sebuah keramaian yang sepi. Manusia dengan gaya busana modern, modis, urban style. Di pemilihan wajah sampul majalah di Jakarta.
“Siapa ya”?
Mungkin kata itu yang ada di benaknya. Gadis itu terdiam sesaat ketika kutanya dari mana asalnya."Yogyakarta". Jawabnya menunduk perlahan sambil sesekali memainkan rambut hitamnya yang panjang.
Aku menatap tajam gadis ini dengan berbeda. Dia pemalu tapi gesture tubuhnya menggambarkan ia seorang yang cerdas. Mungkin kata yang tepat bukan “pemalu”. Tapi menjaga harga diri. Tipikal perempuan Jawa pada umumnya.
Aku tebak membatin, umurnya pasti tak lebih dari 17 tahun. Anak baru gede.
Aku membalas, "oh, Yogya. Kota tujuan wisata yang bagus ya".
"Iya, begitulah." timpalnya.
"Ayu Sekarwati!”
Seseorang dari depan mulut pintu berteriak memanggil sebuah nama. Tak disangka, Ayu Sekarwati yang dimaksud adalah gadis itu! Ketika ia berdiri, bisa kulihat tubuhnya yang tinggi semampai. Anggun.
Ia beranjak menuju ruangan interview. Terlihat olehku, kulit tangannya berwarna kuning langsat yang bersih. Lengan yang kurus ramping, sesuai dengan bentuk tubuhnya.
Gosh!
Ada apa denganku? Kenapa aku memperhatikannya? Suka padanya? Hmm... Kagum lebih tepatnya.
Kagum pada wajahnya yang ayu dan kulit kuningnya yang indah. Ciri kulit Melayu-Asiatik.
Aku bertanya dalam hati, apa alasan gadis itu mau repot mengikuti pemilihan wajah sampul majalah? Ingin tahu dunia fashion? Atau mungkin sebagai batu loncatan untuk langsung menjadi terkenal? Ah sudahlah.
Sebotol air mineral di tanganku kini tersisa separuhnya. Aku sabar menunggu hingga giliran adikku dipanggil. Adikku yang sebenarnya tidak begitu mengerti dunia seperti ini, memaksaku untuk mengantarkannya ikut audisi ini.
Baginya, ukuran terkenal adalah wajahnya terpampang di majalah anak muda. Dangkal.
Gadis itu keluar dari ruangan interview. Tidak terpancar ekspresi apapun dari parasnya yang ayu itu. Ia kembali duduk di sebelahku. Kesempatan berpihak padaku. Akan kutanya lebih jauh tentangnya
"Bagaimana tadi?"
"Lumayan." Jawaban singkat, padat dan jelas.
Ajaran ibunya mungkin merasuk di benaknya. “Berhati-hatilah dengan orang asing”. Pendek, singkat, jelas dan padat. Tidak bertele-tele.
"Lagi libur ya? Kok ke Jakarta?"
"Iya, waktu libur kuliah masih lama. Aku kuliah di Jakarta”.
Jelasnya dengan aksen Jawa yang masih terdengar kental.
Aku meninjau jawabannya. Buat apa Ia kuliah di Jakarta. Toh banyak universitas yang bagus di Yogyakarta. Sesuai dengan predikatnya sebagai kota pelajar.
Tentu banyak lembaga-lembaga pendidikan tinggi untuk menghasilkan sumber daya yang berkualitas.
Pikiranku menerawang, mungkin Ia memang berkeinginan untuk bergelut di dunia modeling yang tentu saja jauh lebih kompetitif.
Sekali lagi, tangan kuningnya yang ramping itu kembali memainkan rambut panjangnya yang hitam. Rambutnya wangi semerbak.
“Aditya Ajeng Utama!”
“Ayo Jeng, giliranmu.”
Ucapku sambil menyemangati.
“Doain ya, bang!”
“Adiknya ya?”.
Gadis itu membuka mulut.
“Iya.“Jawabku singkat”
“Namanya bagus ya”.
“Hmm... Nama kamu siapa?”
“Ayu Sekarwati. Panggil aja Sekar.”
“Aditya Aji Utama”.
“Panggil aja Aji”.
Kubalas tanpa harus menunggu Ia bertanya balik seraya kusodorkan tangan kananku untuk berjabat tangan.
“Namanya hampir sama ya.” Candanya
Keluar juga canda dan tawa kecil dari bibir tipisnya. Ada keinginan dariku untuk mengenal lebih jauh dengannya. Tapi pasti Ia berpikir, buat apa langsung akrab dengan orang yang baru saja dikenal.
“Ah, tetapi apa salahnya kucoba untuk terus memulai percakapan dengannya”. Batinku
Sambil menunggu adikku keluar dari ruang interview, kami larut dalam percakapan singkat untuk saling mengenal. Aku merasa berhasil berkenalan dengannya. Sesekali keluar tawa kecil dari bibirnya. Ia terlihat sangat cantik!.
“Abaaaaaaaaaaaang!”
Aku terkejut. Karena tanpa sepengetahuanku, adikku telah keluar dari ruang interview dan berteriak sambil berlari ke arahku. Adikku sibuk menceritakan apa saja yang Ia lalui di dalam ruang interwiew. Tanpa kuperhatikan, aku mengalihkan perhatianku ke arah gadis ayu itu.
Mendadak, gadis itu memecahkan suasanaku yang tengah sibuk memperhatikannya. Ternyata ia telah memiliki seorang pasangan yang kini duduk di sebelahnya. Terdengar olehku, percakapan yang cukup hangat dari mereka berdua.
Ah, apa yang tengah ku pikirkan? Aku tidak cemburu, walau sempat terbersit oleh ku untuk dapat mengenalnya lebih jauh.
“Bang, ayo kita makan siang.” Seru Ajeng padaku.
“Selesai ceritanya?”
“Abang hampir aja ketiduran disini”.
“Iya, emang Abang merhatiin ceritaku? Abang juga terlalu betah duduk bangku ini, makanya hampir ketiduran.”
Aku memang mau tidak mau harus betah di situ.
Betapa tidak, aku harus turut menunggu berjam-jam hinga nama Ajeng dipanggil. Selain itu, alasanku untuk tetap kerasan di bangku itu adalah karena ada gadis cantik yang turut duduk disitu, di sebelahku, ucapku dalam hati.
Sayangnya gadis itu sudah milik orang lain dan aku tidak lagi dapat mengenalnya lebih jauh. Aku berharap dapat bertemu lagi dengan gadis itu di lain kesempatan, walau hanya untuk melihat tawa kecil dari bibirnya yang tipis.
Jeng, kapan pengumumannya?”
“Semua finalis yang tadi diinterview, akan mengikuti acara prefinal show-nya Bang”. “Nah, setelah acara itu, terpilihlah beberapa calon yang akan masuk ke tahap selanjutnya, yaitu grand final shownya”. Jelasnya panjang lebar.
“Itu kapan?”
"Sabtu ini."
Kesempatan kedua. Hatiku senang bukan kepalang karena ada kesempatan untuk bertemu dengan gadis itu kembali.
“Bang, cari pacar lah”. Wajah Abang yang tidak pas-pasan, serta umur Abang yang sudah cukup untuk memiliki pasangan, pastilah banyak yang suka denganmu Bang. Aku jamin itu.”
"Kamu bisa saja.”
“Doakan saja Abang datang dengan pasangan Abang ketika menghadiri grand final show kamu."” Kami berdua tertawa.
Usiaku dengan adikku tidak terpaut jauh. Hanya berbeda beberapa tahun. Aku sering menjadi pendengar yang baik untuknya. Mendengarkan cerita cintanya atau mungkin masalah hidupnya yang terkadang terlalu kompleks untuk gadis belia seusia dia.
Makanan dengan kuah berwarna kuning pucat dengan beberapa potong sayuran segar serta wangi buah jeruk nipis yang terasa menusuk hidung sudah tersaji di meja.
Bisa kutebak kalau anak di depanku ini akan terdiam sesaat. Lalu sibuk dengan rongga mulutnya. Soto, ini merupakan menu favoritnya untuk makan siang.
Pre Final Show
21 Pebuari 2009
Jakarta
“Dit, kamu dimana? Susulin aku sama Ajeng dong.”“Aku baru mau jalan ke mall, atau aku nyusul kamu aja ya?”
Jawab seorang wanita lewat telepon genggamku. Dialah Dita, teman terbaik yang pernah aku miliki dalam hidupku. Mungkin dia juga adalah satu-satunya orang dalam hidupku dan Ajeng, setelah kedua orang tuaku dipanggil Sang Khalik.
Gadis itu, gadis yang sempat kutemui pada saat aku menemani adikku untuk interview, berpenampilan sangat mempesona. Dengan balutan kebaya warna hijau, terlihat sangat cantik. Kulitnya yang kuning sangat sepadan dengan busana yang Ia pakai. Tata rias di wajahnya yang tidak berlebihan, membuatku semakin bersemangat mengikuti acara ini.
Dita datang. Dia tidak langsung menghampiriku.
Lalu siapa yang Ia hampiri?! Gadis itu!.
Siapa gadis itu sebenarnya? Kenapa Dita mengenalnya dan tidak bercerita padaku tentang Ayu Sekarwati?
Tak sabar. Kuhampiri Dita dan gadis Yogya itu. Dita memperkenalkannya kembali padaku, adik Dita. Anandita Sekarwati.
Aku tidak menyadari kalau ternyata Ayu dan Dita adalah satu keluarga, keluarga Sekarwati.
Dita menjelaskan, “Ayu lebih betah tinggal di Yogya ketimbang di Jakarta”.
Terjaga!
Aku terbangun dari tidurku.
Sadar jika semua ini hanya imajiku dalam mimpi. Indah.
Aku beranjak dari tempat tidurku. Dita dan Ayu telah berada di ruang makan menungguku untuk sarapan.
Cengkareng, Juli 2009
“Semua finalis yang tadi diinterview, akan mengikuti acara prefinal show-nya Bang”. “Nah, setelah acara itu, terpilihlah beberapa calon yang akan masuk ke tahap selanjutnya, yaitu grand final shownya”. Jelasnya panjang lebar.
“Itu kapan?”
"Sabtu ini."
Kesempatan kedua. Hatiku senang bukan kepalang karena ada kesempatan untuk bertemu dengan gadis itu kembali.
“Bang, cari pacar lah”. Wajah Abang yang tidak pas-pasan, serta umur Abang yang sudah cukup untuk memiliki pasangan, pastilah banyak yang suka denganmu Bang. Aku jamin itu.”
"Kamu bisa saja.”
“Doakan saja Abang datang dengan pasangan Abang ketika menghadiri grand final show kamu."” Kami berdua tertawa.
Usiaku dengan adikku tidak terpaut jauh. Hanya berbeda beberapa tahun. Aku sering menjadi pendengar yang baik untuknya. Mendengarkan cerita cintanya atau mungkin masalah hidupnya yang terkadang terlalu kompleks untuk gadis belia seusia dia.
Makanan dengan kuah berwarna kuning pucat dengan beberapa potong sayuran segar serta wangi buah jeruk nipis yang terasa menusuk hidung sudah tersaji di meja.
Bisa kutebak kalau anak di depanku ini akan terdiam sesaat. Lalu sibuk dengan rongga mulutnya. Soto, ini merupakan menu favoritnya untuk makan siang.
Pre Final Show
21 Pebuari 2009
Jakarta
“Dit, kamu dimana? Susulin aku sama Ajeng dong.”“Aku baru mau jalan ke mall, atau aku nyusul kamu aja ya?”
Jawab seorang wanita lewat telepon genggamku. Dialah Dita, teman terbaik yang pernah aku miliki dalam hidupku. Mungkin dia juga adalah satu-satunya orang dalam hidupku dan Ajeng, setelah kedua orang tuaku dipanggil Sang Khalik.
Gadis itu, gadis yang sempat kutemui pada saat aku menemani adikku untuk interview, berpenampilan sangat mempesona. Dengan balutan kebaya warna hijau, terlihat sangat cantik. Kulitnya yang kuning sangat sepadan dengan busana yang Ia pakai. Tata rias di wajahnya yang tidak berlebihan, membuatku semakin bersemangat mengikuti acara ini.
Dita datang. Dia tidak langsung menghampiriku.
Lalu siapa yang Ia hampiri?! Gadis itu!.
Siapa gadis itu sebenarnya? Kenapa Dita mengenalnya dan tidak bercerita padaku tentang Ayu Sekarwati?
Tak sabar. Kuhampiri Dita dan gadis Yogya itu. Dita memperkenalkannya kembali padaku, adik Dita. Anandita Sekarwati.
Aku tidak menyadari kalau ternyata Ayu dan Dita adalah satu keluarga, keluarga Sekarwati.
Dita menjelaskan, “Ayu lebih betah tinggal di Yogya ketimbang di Jakarta”.
Terjaga!
Aku terbangun dari tidurku.
Sadar jika semua ini hanya imajiku dalam mimpi. Indah.
Aku beranjak dari tempat tidurku. Dita dan Ayu telah berada di ruang makan menungguku untuk sarapan.
Cengkareng, Juli 2009
No comments:
Post a Comment